Karya : Dina Mariana
Jam dinding berdetak dua kali tepat pada pukul 7.00, pagi itu aku sampai di sebuah gedung berwarna biru menyala. Gedung yang berdiri kokoh di tengah-tengah hiruk pikuk sebuah kota kecil. Lonceng berbunyi keras sekali, para murid berlarian memasuki gerbang, ketika seorang laki-laki berseragam layaknya tentara menutup separuh gerbang. Selang beberapa waktu aku duduk disebuah anak tangga sambil menunggu temanku yang belum juga tiba. Sosok pria paruh baya tiba-tiba melintas didepanku seraya tersenyum. Aku pun melemparkan senyum kepadanya,saat ia mendorong sepeda tuanya, ke sebuah halaman parkir yang telah ramai berjejer barisan bebek yang di sulap menjadi sebuah mesin-mesin berkerangka baja.
Pukul 10.00 pagi lonceng sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat. Dengan langkah pasti aku menuruni anak tangga yang seolah-olah mengeluarkan bunyi nada-nada yang indah ketika kaki ku mulai memijakinya satu demi satu. Aku melewati lorong panjang yang akan mengantarkan ku kesebuah tempat berkumpulnya jajanan sekolah mulai dari gerobak bakso, mpek-mpek, mie ayam, siomay hingga gerobak es. Teman-teman berhamburan keluar dengan penuh semangat untuk menikmati menu pagi itu.
Di lorong itu aku bertemu dengan pak’de yang sedang menikmati pekerjaannya, ia menyapu lantai dan memungut sampah yang dibuang sengaja oleh seorang siswa,dengan lembut ia memungutnya tanpa merasa itu adalah sebuah pekerjaan yang hina kemudian ia membuangnya ke kotak sampah. Ia hanya tersenyum, dan kemudian melemparkan pandangannya kearahku. Dengan wajah yang sayu ia memanggilku, Dania jelek itulah sebutan namaku dimatanya, aku hanya bisa tersenyum simpul dan menyapanya.
Karena aku tak merasa lapar, aku mengajaknya berbincang-bincang di taman sekolah, pak’de senang bercerita tentang keluarganya. Aku pernah bertanya dimana rumah pak’de. Dan ia menjawab rumahnya cukup jauh dari sekolah ini kira-kira 20 kilometer dari sekolah. Aku hanya mengangguk pelan untuk berpikir sejenak, jika ia menempuh jarak 20 kilometer dengan sepeda tua jam berapakah ia berangkat dari rumahnya. Ketika aku tanyakan itu sekali lagi, ia malah tertawa renyah sekali. Akupun ikut tertawa walaupun tahu aku harus bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Saat itu pak’de terlihat senang sekali dengan perbincangan kami berdua. Jarang sekali pak’de mau berbicara dengan para siswa yang lain. Ia hanya mau berbicara dengan orang-orang tertentu. Aku tahu siswa di sekolah, adalah anak-anak yang berada dikalangan menengah keatas. Mereka lebih senang memamerkan barang-barang baru yang mereka miliki. Dan aku tak tertarik sedikitpun untuk berkumpul bersama-sama dengan mereka. Itu hanya menyia-nyiakan kesempatan dalam hidup ini.
Hari pun semakin panas, saat itu kira-kira pukul 15.00 aku masih berada disekolah untuk mengikuti bimbingan. Dengan terhalang kaca jendela yang besar, aku melihat pak’de mendorong sepeda tuanya melewati gerbang sekolah. Terik matahari yang serasa membakar kulit tak jadi halangan baginya. Ia mulai mengayuh sepeda tuanya keluar gerbang. Aku teringat akan cerita pak’de tentang keluarganya. Ia hanya memiliki satu orang anak laki-laki saja, usianya tiga tahun lebih tua dariku. Sekarang, ia tinggal di kota besar di Pulau Jawa untuk meneruskan pendidikannya disebuah Universitas negeri terkenal di Jogja. Sedangkan disini Pak’de hanya ditemani seorang istri yang setia untuk menemani diusia senjanya. Ia berharap anak laki-lakinya bisa membesarkan nama keluarga kecilnya. Namun harapannya telah Sirna, kini ia hanya berbesar hati menerima keadaan keluarganya sekarang. Air mata itu tiba-tiba saja meluncur dari pipinya yang keriput, ia hanya bisa tersenyum dan menatap lurus ke arah jalanan.
Terlihat dari balik senyumnya terdapat banyak luka yang ia alami. Ia hanya menatapku dengan penuh kasih, seraya mengusapkan tangannya yang kasar ke kepalaku.
“suwe ora jamu jamu godhong tela,
suwe ‘ra k’temu, k’temu pisan gawe gela”
hanya nyanyian itu yang bisa menghibur hatinya yang sedang lara.
Aku tak tahu apa yang ada dipikirannya, aku hanya bisa bernyanyi bersamanya untuk membuat hatinya senang.
“suwe ora jamu jamu godhong tela,
suwe ‘ra k’temu, k’temu pisan gawe gela”
Pukul 15.15 sore itu, aku memutuskan untuk tidak ikut bimbingan, aku menarik tas ranselku dan memasukkan semua buku-buku yang ada di atas meja. Aku berlari untuk mengejar pak’ de.
Aku bergegas menghidupkan mesin kendaraan roda duaku dan menyusulnya dari belakang. Aku pikir tak akan dapat mengejarnya, namun dugaanku salah. Ia begitu menikmati sore itu, perlahan-lahan ia mengayuh sepeda tuanya. Sore itu sedang bersahabat dengan pak’de seolah-olah ia tahu pak’de akan pulang kerumah. Jauh dari perhitunganku, perjalanan itu memakan waktu 1 jam lamanya. Tanpa mengenal lelah ia terus berjalan namun sesekali ia turun dari sepedanya dan menuntun nya untuk beberapa kali.
Memasuki sebuah perkampungan kecil dengan jalan yang lumayan sempit, pak’de menuntun sepedanya, begitu banyak rumah-rumah yang saling berdekatan hampir tidak ada jarak pemisah antara rumah yang satu dengan yang lainnya.
Pak’de terus berjalan, dipersimpangan itu pak’de menghilang. Aku hanya bisa menatapnya dari belakang, rasanya cukup untuk hari ini mungkin aku bisa mencari rumahnya esok hari. Rasa penasaran akan cerita pak’de tentang anaknya masih menghantui pikiranku. Tiba-tiba saja dari belakang seorang wanita tua menyentuh pundakku dari belakang, sontak akupun terkejut. Ia tersenyum kepadaku, “mba yu’ kenal sama bapak itu?”
Dengan gagap akupun menjawab ya dengan menganggukan kepala perlahan-lahan. Tanpa basa-basi akupun bertanya dengan si ibu tua itu. Ia mulai bercerita tentang pak’de tanpa rasa curiga aku terus membrondong pertanyaan demi pertanyaan yang selalu berputar dalam otakku kepada si ibu . Dengan sabar ia menjawab pertanyaanku.
Anaknya laki-lakinya sudah 2 tahun menghilang, setelah sempat setahun ia menuntut ilmu diperguruan tinggi di Jogja. Akupun semakin yakin bahwa ibu tua itu tidak berbohong, pak’de juga pernah memberitahuku. Aku mendengarkan semua ceritanya. Dalam tahun yang pertama prestasinya memang sangat menggembirakan. Ia mendapatkan peringkat satu di universitasnya dan mendapatkan beasiswa. Ia bercerita dengan senyum yang mengembang dibibirnya lalu ia bercerita lagi. Tapi sayang, setahun kemudian ia tak lagi jadi anak kebanggaan keluarganya. Karena pergaulan yang bebas, ia terjerumus dengan kehidupan di kota besar itu. Orangtuanya sangat yakin akan anaknya, namun ternyata mereka salah. Ia menjadi pecandu narkoba semua uang yang dikirimkan dengan susah payah hasil jerih payah orangtuanya habis hanya untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia tak lagi duduk dibangku kuliah dan dikeluarkan karena ketahuan pihak kampus.
Setelah bercerita, nafas si ibu terasa berat untuk melanjutkan ceritanya. Ia nampak tak kuasa untuk melanjutkannya.Dan akhirnya perlahan-lahan aku memeluknya, aku tahu sebenarnya ia adalah istri dari pak’de. Istri yang sangat ia kasihi, akupun larut akan sedihnya. Begitu banyak beban yang ia pikul. Aku tak sanggup untuk membiarkannya bercerita kembali.
Keluarga kecil itu kini goyah, tak ada harapan akan masa depan. Yang mereka inginkan untuk saat ini adalah anaknya cepat kembali dan berkumpul bersama lagi. Mereka masih setia menunggunya dan menerimanya apa adanya. Tak perduli cibiran tetangga tentang anaknya.
Tiga tahun telah berlalu, aku berdiri di dekat sebuah pohon di taman sekolah. Kubuka kedua mataku untuk menutup cerita tentang pak’de. Aku pun duduk dibawah Pohon rindang dimana aku selalu mendengarkan cerita dari beliau. Tiba-tiba suara seorang perjaka tanggung menyapaku dari arah belakang, “mba’ yu cari siapa?”
Suara itu tak asing ditelingaku, akupun menoleh kearahnya.Dengan tersenyum ia menatapku, senyum itu…senyum yang sama seperti pak’de yang kukenal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar