Senin, 21 November 2011

Belajar Menghargai Sesama

 
Minggu, tanggal 20 november 2011. Aku bersama dengan temanku sebut saja ia Mamad membuat sebuah janji di depan sekolah dekat jalan yang saat itu tidak banyak melintas kendaraan roda dua maupun roda empat. Kami berdua membuat janji untuk menghadiri sebuah undangan perkawinan salah satu teman kami di daerah kemiling. Saat itu, kami berdua memutuskan untuk bertemu pukul sebelas siang. Namun sampai pukul sebelas lewat lima belas menit, Mamad pun tak juga datang. Mungkin karena aku orang yang cukup sabar, akupun memutuskan untuk menunggunya. Kebetulan aku tak tahu dimana rumah sang pengantin dan si Mamad yang yang tahu alamatnya (dari pada salah alamat, kan jadi nyanyi lagu ayu ting-ting..dimanaa..dimanaa..dimana..aa..hihihi). Setelah melihat jam ternyata sudah pukul sebelas lewat  dua puluh lima menit, dan ternyata Mamad tak juga muncul. Saat itu aku pun sudah mulai kesal, dan berpikir ga lagi-lagi bareng Mamad yang super lama (ngakunya sih rumahnya jauhhh :@). 

Pukul 11.35 yang dinanti pun datang, Mamad..oh..Mamad,bener-bener nih orang bisik ku dalam hati. Sesampainya Mamad di dekat ku, akupun mulai mengoceh bak burung beo saking kesalnya.
Setelah Mamad datang, kami berdua memutuskan untuk berangkat. Namun ketika di persimpangan jalan, Mamad melihat seorang tukang jualan poster 5 dimensi. Ia pun memarkirkan kendaraanya, aku yang berada di belakangnya pun hanya mengikutinya. 

Mamad:” bang apa itu?” Tanya Mamad.
Abang tukang poster:” poster mas, ada 3 dimensi sama 5 dimensi. Liat dulu aja mas!” kata si abang.
Mamad: “ berapaan bang, bagus loh”. Sambil menengok ke arahku. Aku yang ada di belakangnya Cuma mengiyakan sambil senyum memaksa.
Abang tukang poster: “ empat puluh lima ribu mas,liat aja dulu”.
Mamad: “ga kurang bang, kalo 20 ribu boleh ga,mw ambil dua”. Kata si Mamad. Aku yang berada di belakangnya cuma heran dengan tingkah si Mamad.
Abang tukang poster: “hmm…ya udah mas, ga papa buat penglaris dari pagi udah jalan belum ada yang laku.” Terang si abang dengan muka yang amat lusuh dan letih.
Mamad : “aduhh…bang saya ga bawa dompet, lupa tadi buru-buru soalnya mau ke pesta nikahan. Maaf yang bang, klo ga besok lewat aja di depan sekolah di ujung jalan itu, saya kerja di sana”.
Abang tukang poster: “oh..ya udah mas ga papa, di sana ya kerjanya?”. Si abang tukang poster pun Cuma mengiyakan.

 aku yang mendengar ucapannya sangat kaget..hahhhh,apa-apaan neh orang ga denger apa yang di bilang si abang, BELUM ada yang LAKU!!!.
Setelah itu, Mamad pun berlalu. Aku yang berada di belakangnya hanya tersenyum dengan si abang sambil mengucapkan maaf ya bang, besok datengin aja kesekolah (stengah menjerit sambil berlalu).
Akupun mulai bertanya dengan si Mamad, ternyata usut punya usut si Mamad cuma iseng  bertanya, dan sebenarnya ia membawa dompet (aku juga berpikir ga mungkin ga bwa dompet..hmm cuma geleng-geleng). Dengan entengnya ia berkata “gw Cuma mw tw harganya aja,g niat beli geh, klo besok dy datang ke sekolah datang aja, gw kan Cuma bilang kerja di sana”.

Iba rasanya mendengar kata-kata si Mamad. Aku mulai berpikir, apa si Mamad ga punya hati atau emang ga merasakan rasanya jadi si abang tukang poster. Padahal jelas-jelas abang tukang poster wajahnya sudah berseri ketika Mamad berkata akan membeli posternya dua lembar. Terakhir kali aku melihat wajahnya abang tukang poster sedih sekali, apalagi waktu aku ingat dia bilang belum laku dari pagi. Hmm…miris memang melihat orang dengan sikap seperti Mamad, yang tidak belajar dari orang-orang yang bekerja keras seperti abang tukang poster. Abang tukang poster yang ku lihat tetap tersenyum ketika mendengar tidak jadi dibeli. Namun tetap saja ada rasa kecewa yang terlihat jelas.
Sebuah pelajaran yang bisa di petik dari kejadian ini, cobalah menghargai sesama kita. Jangan pernah memandang orang lain sebelah mata tapi lihatlah kegigihan dan kesabaran dari orang-orang kecil yang tetap tersenyum di dalam kehidupannya dengan penuh syukur.